KH. Akhmad Tarsyudi

KH. Ahmad Tarsyudi dilahirkan pada tahun 1922 dari pasangan Tarlan dan Siti Sangiyah. Sangiyah merupakan putri dari KH. Ma’sum, sedangkan Tarlan merupakan putra dari KH. Abdul Aziz atau lebih dikenal sebagai Tiplek. Tiplek adalah orang ternama di Kabupaten Brebes dan merupakan orang terkaya serta dermawan di desa tersebut. Abdul Aziz juga merupakan salah satu Kiai yang disegani oleh masyarakat desa Jatirokeh. KH. Abdul Aziz merupakan seorang putra dari KH. Ibrahim, yang juga salah satu tokoh penyebar agama Islam di Brebes.

KH. Ahmad Tarsyudi adalah keturunan orang-orang besar, dengan kualitas keilmuan yang luar biasa pada masanya. Dari garis keturunan ayahnya, Tarsyudi adalah penerus dari perjuangan Mbah-Mbahnya yang juga seorang ulama. Kiai Tarsyudi merupakan keturunan Mbah Cokro yang berasal dari kerajaan Mataram Islam. Seperti diuraikan pada silsilah berikut ini,



Hidup dan besar dari keturunan orang terpandang, Kiai Tarsyudi kecil diberi nama Tamar oleh orang tuanya. Tamar yang berasal dari bahasa Arab memiliki arti buah kurma. Harapan orang tuanya kali itu adalah memiliki putra yang manis budi pekerti dan keilmuannya. Buah tersebut juga merupakan salah satu hal yang selalu menemani perjalanan umat Islam dari nabi ke nabi.

Tamar kecil menghabiskan waktunya dengan menimba ilmu di surau-surau di sekitar rumahnya, dengan tetap membantu kedua orang tuanya sebagai petani. Tamar sebagai salah satu anak laki-laki diajarkan sedari kecil untuk mencintai ilmu dan agama.

Dalam perjalanan hidupnya ketika dewasa, akhirnya Tamar tumbuh sebagai seorang yang peduli terhadap dunia pendidikan, khususnya penanaman nilai-nilai pendidikan agama.

Sejarah Pendidikan dan Pesantren
KH. Akhmad Tarsyudi dalam pendidikan formalnya hanya lulus dari Sekolah Rakyat (SR/HIS) atau sekarang setingkat Sekolah Dasar (SD). Namun beliau berguru pada banyak pemuka agama setelah menyelesaikan pendidikannya di SR. Beliau memilih mendalami ilmu-ilmu agama dengan mengaji dari satu surau ke surau yang lain di sekitarnya. Beliau kemudian berguru kepada KH. Akhmad Suduri, yang membimbing Tamar kecil hingga memiliki pemahaman agama yang baik. Setelah menimba ilmu kepada Kiai Akhmad Suduri, beliau memutuskan untuk meneruskan belajarnya di pondok pesantren Pekuncen Tegal yang menjadi pijakan awal Sang Kiai dalam menuntut ilmu agamanya ke tingkat yang lebih tinggi. Di pondok tersebut beliau berguru pada Kiai Haji Muhammad Sholeh, yang membimbing beliau selama hampir 3 tahun.

Setelah menempuh pendidikan di Pekuncen, Kiai Tarsyudi kemudian belajar di pondok pesantren Kali Mati Tegal. Di sini beliau menempuh pendidikan selama 3 tahun dan dilanjutkan belajar di pondok pesantren Kaliwungu Kendal. Pondok pesantren Kaliwungu Kendal kala itu masih diasuh oleh KH. Ru’yat yang juga menjadi pembimbingnya sebagai santri selama 3 tahun. Pasca belajar di Kaliwungu, kemudian beliau singgah belajar di pondok pesantren Banyu Urip Pekalongan selama kurang lebih setengah tahun. Petualangan intelektual Kiai Akhmad Tarsyudi berujung di pondok pesantren Karangmalang, yang saat itu diasuh oleh KH. Jazuli Nawawi. Beliau menempuh pendidikan di
Karangmalang selama 3 tahun.

Rumah Tangga Kiai Ahmad Tarsyudi
Sepulang dari petualangannya belajar di banyak pondok pesantren, kemudian Kiai Tarsyudi menikah dengan seorang gadis desa dari Jatibarang. Dialah Masniyah, seorang putri dari Haji Abdul Halim yang merupakan kepala desa Jatibarang saat itu dan merupakan putra dari KH. Ma’sum Jatibarang yang masih keturunan dari KH. Kholil Bangkalan Madura. Sementara ibunda Nyai Masni merupakan keturunan dari bangsa Maroko (Khadral Maut) yang menyebarkan Islam di Nusantara. Dari pernikahannya tersebut Kiai Ahmad Tarsyudi dan Nyai Masni dikaruniai 5 anak laki-laki dan 5 perempuan, meskipun seorang putranya bernama Abdul Kholiq dan putrinya Rofiah harus meninggal di saat masih kecil. Putra-putri yang lainnya yaitu, Hj. Umi Jaziroh, KH. Sofwan Tarsyudi, KH. Mansyur Tarsyudi, Hj. Sopiyah Tarsyudi, KH. Nasrudin Tarsyudi, Hj. Jamilah Tarsyudi, KH. Ayatullah Tarsyudi, Hj. Salimah Tarsyudi.

KH. Akhmad Tarsyudi Dalam Dakwah dan Perjuangan Keagamaan

Seperti diceritakan sebelumnya bahwa sepulang dari belajar di beberapa pesantren dan menikah serta menjalani kehidupan di desa Jatirokeh, Tarsyudi melanjutkan pengabdiannya mengamalkan ilmu agama yang telah didapatkannya. Hal tersebut dilakukan dengan mendirikan Madrasah Diniyyah. Setelah sebelumnya mengajar mengaji secara tidak terlembagakan. Madrasah tersebut didirikan bukan dengan bangunan megah dan layak, jauh dari bayangan sebuah sekolah pada saat ini. Beliau memanfaatkan rumahnya dan warga sekitar untuk dijadikan sebagai tempat belajar dan mengaji. Kemudian beliau memanfaatkan mushola dan masjid sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu agama kepada warga desa, yang terdiri dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Santri pertamanya Adalah Kardi. Kardi adalah santri mukim pertama yang dimiliki oleh Sang Kiai.

Selain itu, wujud pengabdian Kiai Tarsyudi sebagai ulama tanpa pesantren dilakukan dengan membuka pengajian yang berjalan selama lebih kurang 23 tahun di dusun Dukuh Payung. Setiap harinya, beliau menjangkau seluruh wilayah tempatnya berdakwah dengan menggunakan sepeda tua miliknya, dan terkadang pula berjalan kaki. Beliau juga mengabdikan diri untuk mengajar di Madrasah Diniyah. Hal tersebut merupakan wujud implementasi dari visi pendidikan Islamnya bagi masyarakat di sekitarnya. Beliau juga membuka Majlis Taklim dan pengajian rutin untuk kaum ibu dan masyarakat umum setiap hari Selasa.

Kemudian aktivitas pengajian lain yang diberikan Kiai Tarsyudi adalah sebagai perintis mengajar ngaji di masyarakat setiap Jumat selepas sholat Jumat. Setelahnya beliau menjangkau tempat-tempat dimana Islam belumlah menjadi agama mayoritas.

A. Dakwah dalam Pergerakan
Dalam bidang perjuangan kemerdekaan, Kiai Tarsyudi gigih berjuang bersama masyarakat melawan kolonialisme di Brebes. Melawan penjajah Belanda ketika Agresi Militer ke II, beliau juga turut serta dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya beliau wujudkan dengan keterlibatannya sebagai tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia sebelum kepentingannya berbelot menjadi perjuangan Negara Islam. Beliau juga aktif menjadi tentara Hizbullah, yang merupakan kelompok tentara bentukan NU pada saat itu.

Perjuangannya tidak berhenti di jalur pertempuran dan mengangkat senjata. Selain itu beliau juga aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan Nahdatul Ulama sebagai syuriah. Bahwa selain bersama masyarakat berjuang melawan penjajah, Kiai Tarsyudi dipercaya dan diamanatkan menjabat sebagai Ketua Syuriah NU untuk wilayah Songgom. Saat itu, ketua Tanfidziyah nya adalah KH. Makful. Bersama pengurus dan punggawa-punggawa NU kala itu, Kiai Tarsyudi berjuang melestarikan amalan-amalan Ahlussunah Waljamaah.

B. Perjuangan dalam Bidang Keagamaan
Sembari mengajarkan ilmu agama kepada warga, kesungguhan hatinya untuk menuntut ilmu tidak lantas berhenti. Kiai Tarsyudi masih konsisten belajar dengan para Kiai sepuh, seperti pada KH. Wahab Sya’roni, beliau belajar lebih mendalam kitab Ihya Ulumuddin. Juga kepada Kiai Said Giren dan pondok Tebuireng untuk mengaji pasaran. Hal tersebut merupakan interpretasi konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education).

Selain itu, Sang Kiai juga merupakan tokoh penting dalam melestarikan budaya Islam, salah satunya dengan mengamalkan salah satu Thariqat, yakni Thariqat Tijaniyah, hingga mendapat predikat sebagai Muqodam dan Mursyid Thariqat dari Kiai Ibrahim bin Muhammad Nur.

KH. Akhmad Tarsyudi; Bapak Pendidikan Islam

A. Kiai Tarsyudi dan Pendidikan Islam
Lambat laun, ketika kian berkembangnya pendidikan yang dirintis, Tarsyudi kemudian memulai melembagakan aktivitas keilmuannya. Aktivitas keliling kampung untuk mendidik masyarakat dan membuka pengajian beliau teruskan dengan usaha untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama yang formal.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pertama di desa Jatirokeh. Sebelum akhirnya berkembang pula pengajian yang diperuntukan bagi para pemuda dan kaum ibu serta bapak menjadi lembaga pendidikan pesantren.

Sebutan bapak pendidikan Islam yang diletakkan kepadanya bukan tanpa alasan, karena hal tersebut merupakan buah yang diterima dari kepeduliannya membangun kultur pendidikan Islam. Hal tersebut beliau wujudkan dengan mendirikan Madrasah Diniyah dan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1946.

Melalui lembaganya ini, pendidikan sudah dikelola sedemikian rupa dengan model pengenalan yang baru. Kurikulum, kelas, dewan guru dan sistem pendidikan sudah dirancang lebih siap dari sebelumnya.

Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Al Falah, dengan pencapaian berikutnya adalah membuat Madrasah Tsanawiyah dan kemudian dilanjut dengan mendirikan Madrasah Aliyah.

Dalam perkembangan kemudian beliau bersama masyarakat mendirikan Pondok Pesantren Al Falah, yang menjadi cikal bakal lahir dan berkembangnya pendidikan formal di desa Jatirokeh. Pada tahun 1980 an di bawah naungan pondok pesantren, beliau bersama ketiga putranya mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Pada saat itu, satu-satunya sekolah tingkat lanjut yang tersedia hanyalah SMP Pusponegoro di Jatibarang. Pada tahun 1983 KH. Nasrudin dan KH. Sofwan mendirikan Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al Falah dengan bendaharanya KH. Mansur.

Dari sinilah kemudian kita mengetahui peran seorang Kiai Tarsyudi. Beliau tidak berhenti pada wilayah mencerdaskan moral melalui pendidikan agama saja. Beliau menjadikan lembaga pendidikan formal sebagai bekal bagi masyarakatnya belajar ilmu-ilmu lain selain agama. Beliau memimpikan lahirnya generasi bangsa, muslim yang bermoral dan cerdas dengan rintisan lembaganya tersebut. Sehingga visinya untuk mendidik hati, fikir dan laku setiap anak dapat terimplementasikan dengan maksimal.

Wafatnya Kiai Akhmad Tarsyudi

Setiap yang bernyawa akan kembali kepada sang Khaliq. Bahwa setiap perjumpaan selalu beriringan dengan lahirnya perpisahan. Pada 1989 Kiai Tarsyudi menutup mata di usia 67 tahun setelah sebelumnya sakit dan dirawat di rumah sakit.

Sumber: Buku Damar Peradaban; Kisah Keteladanan KH. Akhmad Tarsyudi Pendiri Pondok Pesantren Al Falah Brebes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top