10 November diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia. Hal ini berawal dari sebuah pertempuran besar dan hebat yang terjadi di Surabaya. Pertempuran tentara dan milisi proklamasi kemerdekaan Indonesia, tentara Britania Raya, dan India Britania. Puncak peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Melalui keputusan Presiden No 316 Tahun 1959 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno, tentang Hari Nasional yang Bukan Hari Libur, setiap tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Berikut latar belakang peringatan Hari Pahlawan yang dirangkum dari buku Api Sejarah Jilid II oleh Ahmad Mansur Suryanegara.
M.C. Ricklefs, seorang ahli sejarah Indonesia, menuturkan pada Oktober dengan mendaratnya tentara sekutu Inggris dan NICA di pulau Jawa dan Sumatra, pecahlah pertempuran di pulau Jawa dan Sumatra. Para pemuda Republik menyerang bekas interniran Belanda, bekas serdadu Belanda, dan Indo-Eropa yang pro Belanda. Berbeda dengan Angkatan Laut Jepang di Jakarta ataupun di Surabaya yang berpihak kepada Republik Indonesia. Sebaliknya, Angkatan Darat Jepang menentang Proklamasi 17 Agustus 1945. Akibatnya Angkatan Darat Jepang dinilai bukan lagi sebagai saudara tua, melainkan bersikap memihak kepada sekutu maka terjadilah penyerangan pemuda terhadap markas Angkatan Darat Jepang.
Pada 3 Oktober 1945, Kempetai membantai pemuda di Pekalongan. Dampaknya pecahlah perlawanan pemuda terhadap Jepang di Semarang. M.C. Ricklefs menuturkan jumlah korban di pihak Jepang 500 orang, sedangkan di pihak pemuda 2.000 orang.
Selanjutnya, tentara sekutu Inggris dan NICA mendaratkan 6.000 serdadu Goerkha dari India pada 25 Oktober 1945 di Surabaya bertujuan mengambil interniran Belanda dari Jepang. Para ulama dan santri tidak percaya. Disambutlah dengan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364, berdampak para kiai dan santri dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, membanjiri kota Surabaya.
Kemudian dibangkitkan pula semangat juangnya oleh Bung Tomo, 1920-1981, melalui Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia, pecahlah Perang Sabil tidak dapat dihindarkan lagi. Perlawanan ulama dan santri ini, yang dibakar semangat jihadnya, sembilan hari kemudian menjadikan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 31 Oktober 1945.
Tentara Sekutu Inggris tidak pernah kehilangan Perwira Tingginya dalam Perang Dunia II, 1939-1945 M. Mengapa baru sebulan setelah pendaratan 29 September 1945, pada 31 Oktober 1945, kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby?
Melihat Tentara Keamanan Rakjat (TKR) baru beberapa hari dibentuk, 5 Oktober 1945, dan Resolusi Jihad baru dikumandangkan, 22 Oktober 1945, telah berhasil mengorganisasikan perlawanan ulama dan santri yang membuahkan tewasnya perwira tinggi tentara sekutu Inggris Brigadir Jenderal Mallaby pada 31 Oktober 1945.
Suatu prestasi perang kemerdekaan yang luar biasa. Pengaruh Resolusi Jihad Nahdatul Ulama 22 Oktober 1945 dan pidato radio Bung Tomo dari Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, berhasil memobilisasikan potensi ulama dari Barisan Sabilillah, bekerja sama dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru dibentuk 5 Oktober 1945 dan didukung oleh Laskar Hizbullah serta para santri, berhasil mematahkan perwira tinggi tentara sekutu dan NICA yang berpengalaman memenangkan Perang Dunia II.
Mayor Jenderal RC Mansergh Komandan Tentara Angkatan Darat sekutu memberikan ultimatum kepada segenap rakyat Indonesia agar menyerahkan senjatanya, paling lambat pukul 06.00 pada 10 November 1945. Ultimatum ini tidak didengar oleh rakyat. Walaupun tentara sekutu Inggris ditambah dengan divisi India ke-5, jumlah seluruh kekuatan tentara sekutu dan NICA serta Goerkha sekitar 15.000 orang, dibantu dengan senjata pemusnah meriam-meriam dari kapal penjelajah Sussex dan beberapa kapal Destroyer – perusak, serta pesawat Mosquito dan Thunderbolt dari Royal Air Force Inggris. Namun, tidak mampu memadamkan semangat kemerdekaan yang sedang membara di hati rakyat.
Di tengah Takbir Allahu Akbar, meskipun hanya menggenggam bambu runcing, para ulama dan santri maju terus pantang mundur. Mati dalam pertempuran melawan penjajah barat, diyakini sebagai mati yang indah, gugur sebagai syuhada. Bagaimanapun kuatnya senjata imperialis barat, tidak mungkin mampu memadamkan semangat ulama dan santri yang hatinya sedang terpana oleh rasa cinta terhadap keagungan nilai kemerdekaan. Lebih baik gugur sebagai syuhada daripada hidup terjajah.
Perang Sabil 10 November 1945 di Surabaya menampakkan keagungan semangat rela berkorban harta dan keberanian jiwa yang tak terhingga para ulama dan santri bersama Tentara Keamanan Rakjat (TKR). Surabaya berubah menjadi lautan api dan darah.
Dunia tidak membiarkan tentara sekutu Inggris dan NICA, melancarkan pembantaian yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Antara lain protes keras Ali Jinnah dari Perserikatan Muslimin India dan Jawaharlal Nehru dari India memprotes penggunaan tentara Goerkha untuk menindas bangsa Indonesia. Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang menunjukkan jiwa patriotik penuh keberanian dari para ulama dan santri, diperingati sebagai Hari Pahlawan.